S1, S2, dan S3: Apa Bedanya?

 

Sewaktu mencari bahan kajian untuk skripsi saya di perpustakaan Fakultas Psikologi UGM sekitar hampir 3 tahun lalu, saya gak sengaja menemukan sebuah buku kecil berjudul “How To Get A Ph.D” (penulisnya saya lupa). Sebuah buku kecil, berbahasa Inggris, tidak terlalu tebal, cukup tua (terbitan tahun 1970-an, kalau tidak salah lihat), memakai font mesin tik, berdebu, dan teronggok di rak paling bawah dalam posisi ketiban textbook tebal yang lebih mirip bantal.

Entah “kesambet” apa, saya ambil buku itu dan saya bawa ke meja baca bersama buku lain yang menjadi sumber utama kajian penelitian saya saat itu. Karena masih pagi, perpus juga masih sepi, maka saya coba refreshing otak dengan membaca buku ringan tersebut sebelum membuka buku lain. Saya lihat sepintas, buku itu lebih berisi semacam guidance bagi para calon ataupun mahasiswa S3 yang dielaborasi dari pengetahuan dan pengalaman si penulis, jadi sebenarnya gak terlalu “berat” untuk dibaca.

Bagi saya yang saat itu sedang “jihad” menyelesaikan skripsi saya, buku semacam ini bisa dibilang distraktor, pengalih perhatian. Harusnya tidak saya baca dulu. Apa urusannya mahasiswa yang S1 aja belum kelar baca-baca buku seperti itu. Kalaupun berguna untuk menambah pengetahuan, maka waktunya agak kurang tepat. Prioritas harusnya tetap pada buku-buku penunjang skripsi. Begitu pikir saya.

Memang akhirnya tidak saya baca bagian utama buku itu. Hanya skimming saja dari halaman ke halaman, bolak-balik gak jelas. Sampai akhirnya saya nemu sesuatu yang menarik di bagian awal buku ini dan saya baca dengan serius, yaitu mengenai stratifikasi pendidikan tinggi (higher education). Dengan kata lain: bedanya S1, S2, dan S3 itu apa.

Cukup basa-basi dan “kata pengantar”-nya, mari kita ke topik utama.

Jenjang S1 (sarjana), yang di buku tersebut diistilahkan dengan undergraduate degree atau bachelor degree, merupakan jenjang pendidikan tinggi yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan dasar pada seseorang, baik secara umum maupun spesifik di suatu bidang keilmuan. Selain itu, jenjang ini juga bertujuan untuk membentuk pola pikir dan sikap seorang fast learner, pembelajar cepat.

Nah, itu dia kata kuncinya: pembelajar cepat. Saya semacam mendapat insight dengan istilah “pembelajar cepat” tersebut. Berdasarkan apa yang saya pahami dari cerita penulis dalam buku itu, saya simpulkan bahwa jenjang S1 adalah fondasi. Fondasi yang lebih banyak dibangun dari komponen pola pikir dan pola sikap fast learner tadi.

Karena S1 adalah fondasi, maka lulusannya bisa diarahkan ke mana saja. Seperti fondasi bangunan yang kuat, maka di atasnya siap didirikan berbagai bangunan apa saja. Makanya, jangan heran jika ada lulusan S1 bidang pertanian, kemudian bekerja sebagai bankir di sebuah bank. Dari sisi keilmuan, memang jadi seperti Jaka Sembung naik busway, gak nyambung woi. Tapi dari sisi kemampuan, bisa saja. Banyak yang sukses malahan.

Pastinya, ada beberapa bidang pekerjaan yang gak bisa sembarangan. Lulusan teknik misalnya, mau kerja jadi dokter, jelas tidak bisa. Tapi secara umum, jika bicara pekerjaan, maka lulusan S1 bisa kerja apa saja atau jadi apa saja.

 

Selain itu, jangan terlalu berharap banyak dari lulusan S1 (yang benar-benar baru lulus, fresh graduate, unexperienced). Maksudnya, jangan muluk-muluk meng-hire seorang lulusan S1 yang baru lulus dengan tujuan agar bisa menyelesaikan permasalahan kompleks di sebuah perusahaan, walaupun IPK-nya setinggi langit. Mereka baru punya pengetahuan dasar, sedikit pengalaman mungkin, dan kesiapan untuk belajar. Karenanya, mereka butuh waktu dan berbagai pengalaman agar bisa menjadi seperti yang diharapkan perusahaan. Dan itu harusnya tidak lama, karena mereka pembelajar cepat.

Ibaratnya, mereka baru punya sedikit ilmu dan kesiapan untuk jadi perenang tangguh, jadi jangan langsung dicemplungin ke Challenger Deep Point di perairan Guam, di mana di bawahnya terdapat palung Mariana sedalam 11.000 meter!

Untuk jenjang S2, master (di Indonesia sering disebut “magister”), tujuannya adalah membangun expertise di suatu bidang. Dengan bahasa yang lebih sederhana: membuat seseorang jadi “jagoan” di bidangnya. Karenanya, jenjang S2 biasanya sudah sangat spesifik kajiannya. Misalnya S1-nya psikologi, maka S2-nya bisa psikologi anak, dewasa, lansia, industri, organisasi, atau pendidikan.

Seorang yang mengambil jenjang S2 diharapkan mampu menjadi expert (ahli) di suatu bidang, yang mahir mengerjakan pekerjaannya. Satu catatan penting untuk membangun expertise tadi adalah masalah linieritas. Linier di sini tidak hanya diartikan sebagai kesamaan bidang keilmuannya dengan jenjang sebelumnya, tapi juga bisa dipahami sebagai kesesuaian dengan pengalaman bekerja.

Contohnya, untuk menjadi seorang ahli pertanian yang handal, seseorang berkuliah S1 di bidang pertanian. Segera setelah lulus, dia mengambil S2 di bidang pertanian, dengan spesialisasi di bidang pertanian tropis misalnya. Ini yang dimaksud dan mungkin banyak dipahami sebagai “linier” tadi. Sama-sama pertanian, gak loncat ke bidang lain, hanya spesialisasi bidang saja. Saya sebut ini contoh linier yang “normal”.

Tapi coba bayangkan begini. Seorang lulusan S1 pertanian, sudah bekerja sebagai bankir di sebuah bank syariah selama 10 tahun. Lalu dia memutuskan kuliah S2 di bidang perbankan syariah misalnya, maka ini juga bisa dibilang linier, meskipun linier yang “tidak normal”. Ada perpindahan bidang keilmuan. Awalnya pertanian, kemudian perbankan syariah.

Walaupun demikian, menurut saya justru itu yang benar. Sudah sepuluh tahun berkarir jadi bankir atau ahli perbankan syariah, lalu mau kuliah lagi untuk mengukuhkan keahliannya di bidang itu dan meningkatkan karirnya, kalau dia malah mengambil S2 pertanian, ini namanya konyol dan tidak linier! Jadi intinya, linieritas itu tidak mutlak dibatasi pada kesamaan bidang ilmu saja, tapi juga pengalaman bekerja.

S2 ini juga modelnya macam-macam. Ada S2 yang sifatnya professional training seperti di bidang psikologi dan kedokteran, ada yang lebih kepada kajian spesifik dan mendalam atas keilmuan tertentu, serta ada juga yang berupa pendalaman pengalaman riset. Macam-macam, tergantung kebutuhan. Tapi secara umum, itu tadi, membentuk expertise di suatu bidang.

Untuk jenjang S3 alias doktoral, menurut buku itu, tujuannya adalah untuk memperoleh kualifikasi menjadi seorang pengajar dan peneliti di universitas. Dengan kata lain: jadi dosen. Sebuah universitas, dianggap sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan melalui pengajaran dan penelitian. Karenanya, diperlukan orang-orang dengan kualifikasi tertentu untuk bisa berkecimpung di dalamnya.

Untuk menjadi seorang pengajar, yang mentranfer ilmu kepada mahasiswanya, maka seorang dosen harus memiliki ilmu yang memadai. Bukan berarti tahu segala hal, karena hanya Allah Yang Maha Tahu, tapi lebih kepada “tahu banyak” mengenai bidang keilmuannya.

Dosen teknik elektro, harus punya ilmu yang memadai di bidang teknik elektro secara umum, dan juga secara spesifik di bidang yang menjadi area kepakarannya, misalnya arus kuat. Ilmu inilah yang selanjutnya jadi modal utama untuk mengajar. Jika ditambah dengan pengalaman, tentu akan semakin mantap.

Selanjutnya, untuk bisa menjadi seorang peneliti, maka dosen harus memiliki pengetahuan dan pengalaman untuk bisa melakukan riset mandiri. Pengetahuan dan pengalaman inilah yang dilatih dan didapat dari bertahun-tahun menjalani kuliah S3.

Dengan frame program S3 yang mengarah kepada penelitian, maka secara otomatis seorang mahasiswa S3 juga akan belajar banyak hal mengenai bidang yang menjadi area risetnya. Ditambah dengan ilmu dan pengalaman pada jenjang pendidikan sebelumnya, tentu akan semakin mengukuhkan kepakarannya di suatu bidang. Ini akan sangat berguna sebagai modal ngajar dan meneliti tadi, atau berguna juga sebagai “modal kerja”. Karenanya, kalau kita lihat, lulusan S3 tidak hanya bekerja di universitas saja, melainkan juga di dunia birokrasi dan industri.

Selain itu, penelitian yang dilakukan mahasiswa S3 juga bukan sekadar penelitian biasa, tapi penelitian yang hasilnya sangat diharapkan mampu memberikan kontribusi baru pada pengetahuan. Bentuknya bisa berupa “mengembangkan sesuatu” atau bahkan “menciptakan sesuatu”. Kurang lebih seperti itu.

Nah, itulah bedanya S1, S2, dan S3 berdasarkan apa yang saya baca dari buku “klasik” dan berdebu tersebut. Kalau disimpulkan dalam kata-kata singkat: S1 itu fondasi, S2 itu expertise, S3 itu kontribusi baru terhadap pengetahuan.

Sebenarnya, kalau searching di Google mengenai apa bedanya S1, S2, dan S3, maka akan ada banyak sekali artikel atau tulisan mengenai ini. Tulisannya disampaikan dalam banyak sudut pandang, dalam berbagai bahasa juga. Oleh karena itu, mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi sudut pandang lain.

Sumber : https://ridwanologi.wordpress.com/2014/02/04/s1-s2-dan-s3-apa-bedanya/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pahami Jenjang Karier Lebih Dalam!

Cara tanam padi

PEDAHULUAN KAJIAN PUPUK HAYATI TERHADAP PADI SAWAH